Pemuja.com – Di tengah optimisme pembangunan dan ambisi menjadi kekuatan ekonomi global, Indonesia justru menghadapi sorotan tajam dari negara-negara tetangga di ASEAN.
Laporan tahunan ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) tahun 2025 memunculkan kekhawatiran bahwa jika tren fiskal Indonesia tidak dikendalikan, negara ini bisa kehilangan stabilitas ekonomi pada tahun 2030.
Bahkan, narasi ekstrem seperti “Indonesia bubar” mulai beredar di ruang publik, meski telah dibantah secara resmi oleh AMRO.
Tren Utang yang Mengkhawatirkan
Menurut laporan AMRO, rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diproyeksikan meningkat secara bertahap hingga mencapai 42% pada tahun 2029.
Sebagai perbandingan, rasio utang Indonesia pada akhir 2020 berada di angka 38,13% dengan total utang sekitar Rp 5.910 triliun. Pada akhir Juli 2022, utang sudah menembus Rp 7.163 triliun.
Jika tren ini berlanjut, maka total utang Indonesia pada 2030 bisa mendekati Rp 10.000 triliun, tergantung pada pertumbuhan PDB dan kebijakan fiskal yang diambil.
AMRO juga mencatat bahwa kebutuhan pembiayaan bruto (Gross Financing Needs) Indonesia diperkirakan naik dari 5,5% PDB pada 2024 menjadi 7,6% PDB pada 2029, terutama karena jatuh tempo obligasi pandemi dan defisit primer yang melebar.
Faktor Pemicu Lonjakan Utang
Lonjakan utang Indonesia tidak terjadi dalam ruang hampa. Beberapa faktor utama yang memicu kekhawatiran ASEAN antara lain, belanja negara melonjak, tanpa diimbangi reformasi fiskal yang memadai.
Kombinasi ini menciptakan tekanan fiskal yang berpotensi menyerupai pola krisis yang pernah menimpa Sri Lanka, yang rasio utangnya melonjak dari 42% ke 104% hanya dalam dua tahun sebelum kolaps.
Klarifikasi AMRO dan Tanggapan Pemerintah
Meski narasi “Indonesia bubar” sempat viral, AMRO secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak pernah memprediksi keruntuhan ekonomi Indonesia. Laporan mereka adalah proyeksi berbasis data, bukan ramalan kehancuran.
Pemerintah Indonesia melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto juga menegaskan bahwa rasio utang masih berada di bawah batas aman 60% dari PDB, sesuai Undang-Undang Keuangan Negara. Namun, pasar dan investor global mulai mencermati arah kebijakan fiskal RI dengan lebih kritis.
Jadi Apa Indonesia di 2030?
Tahun 2030 bukan sekadar angka di kalender, melainkan titik balik yang menentukan apakah Indonesia mampu menjadi negara maju atau justru terjebak dalam middle-income trap.
ASEAN menilai bahwa tanpa reformasi fiskal yang serius, Indonesia bisa kehilangan statusnya sebagai kekuatan ekonomi utama di Asia Tenggara.
Di media sosial, warganet menyuarakan kekhawatiran yang sama. Mereka menuntut transparansi anggaran, pemberantasan korupsi, dan pengelolaan utang yang lebih disiplin.
Sebuah komentar menyebut, “Indonesia bubar pada 2030 bukan hal yang ingin kami dengar. Tapi kinerja pemerintah kita saat ini dan sebelumnya, sepertinya tidak peduli akan seperti apa Indonesia di masa mendatang”.
Antara Harapan dan Peringatan
Kekhawatiran ASEAN bukanlah vonis, melainkan peringatan dini. Indonesia masih memiliki waktu dan ruang untuk memperbaiki arah kebijakan fiskalnya.
Namun, jika utang terus membengkak tanpa kontrol, maka tahun 2030 bisa menjadi titik krusial yang menentukan nasib bangsa.
Leave a comment