Pemuja.com – Myanmar baru saja diguncang gempa bumi berkekuatan 7,7 skala Richter pada 28 Maret 2025, yang menyebabkan lebih dari 1.700 korban jiwa dan ribuan lainnya terluka.
Namun, di tengah tragedi ini, militer Myanmar atau junta tetap melanjutkan serangan udara terhadap wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok oposisi bersenjata.
Serangan Udara di Tengah Konflik dan Bencana
Konflik di Myanmar adalah bagian dari perang saudara yang telah berlangsung sejak kudeta militer pada tahun 2021.
Setelah menggulingkan pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, junta menghadapi perlawanan sengit dari berbagai kelompok bersenjata. Termasuk kelompok etnis seperti Karen National Union (KNU) dan kelompok pro-demokrasi lainnya.
Kelompok oposisi seperti KNU dan Danu People’s Liberation Army melaporkan bahwa militer melancarkan serangan udara di wilayah mereka segera setelah gempa terjadi.
Serangan ini menargetkan daerah-daerah sipil dan basis kelompok bersenjata, bahkan ketika masyarakat sedang berjuang menghadapi dampak gempa.
Wilayah Sagaing dan Shan, yang menjadi pusat gempa sekaligus basis kelompok perlawanan, merupakan wilayah yang paling terkena dampak serangan ini.
Kritik Tajam dari Dunia Internasional
Tindakan junta ini menuai kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk kelompok hak asasi manusia dan PBB. Elaine Pearson, Direktur Asia untuk Human Rights Watch, mengungkapkan kemarahannya.
“Laporan bahwa militer Myanmar terus melakukan serangan udara setelah gempa bumi menunjukkan segalanya tentang junta ini—terobsesi dengan penindasan brutal terhadap warga sipil dan berusaha mati-matian memenangkan perang tanpa peduli pada biaya kemanusiaan.”
Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, menyebut serangan udara ini sebagai “luar biasa tidak manusiawi” dan mendesak junta untuk menghentikan operasi militer demi memprioritaskan bantuan kemanusiaan.
Dampak Terhadap Bantuan Kemanusiaan
Gempa bumi ini telah menghancurkan infrastruktur penting, seperti jalan dan jembatan, sehingga menghambat upaya penyelamatan dan distribusi bantuan.
Wilayah yang dilanda gempa berada dalam kondisi kritis, tetapi tindakan militer Myanmar menghambat akses tim penyelamat dan organisasi kemanusiaan.
Akibatnya, banyak warga sipil yang kehilangan tempat tinggal dan bergantung pada bantuan kemanusiaan terjebak dalam ketidakpastian.
Di tengah krisis kemanusiaan yang mendalam, tindakan militer Myanmar memperburuk penderitaan rakyatnya.
Serangan udara yang terus berlanjut di tengah bencana menunjukkan bahwa junta lebih mengutamakan konflik daripada pemulihan nasional.
Situasi ini menuntut perhatian serius dari komunitas internasional untuk menekan junta agar mengakhiri operasi militer dan memberikan akses penuh untuk bantuan kemanusiaan kepada mereka yang membutuhkan.
Leave a comment