Pemuja.com – Nama Ferry Irwandi, CEO Malaka Project dan kreator konten digital, mendadak menjadi sorotan publik setelah Satuan Siber TNI (Satsiber) menyatakan niat untuk melaporkannya ke Polda Metro Jaya.
Dugaan pelanggaran hukum muncul dari hasil patroli siber yang dilakukan TNI, yang menilai bahwa konten Ferry mengandung unsur pencemaran nama baik terhadap institusi militer.
Langkah ini memicu kontroversi, bukan hanya karena melibatkan institusi militer dalam ranah hukum sipil, tetapi juga karena menyangkut batas kewenangan TNI dalam penegakan hukum di ruang digital.
Dugaan Pidana dan Hambatan Hukum
Menurut Wakil Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya, AKBP Fian Yunus, pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27A UU ITE hanya bisa diproses jika ada aduan dari individu yang merasa dirugikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024 memperjelas bahwa institusi, jabatan, atau profesi tidak memiliki hak untuk melaporkan pencemaran nama baik.
Artinya, meskipun TNI merasa dirugikan oleh konten Ferry, laporan tidak bisa diajukan atas nama institusi. Hal ini menjadi titik krusial dalam polemik hukum yang sedang berlangsung.
Respons Ferry Irwandi
Menanggapi wacana pelaporan tersebut, Ferry Irwandi menyatakan bahwa dirinya tidak merasa gentar.
Dalam pernyataan publik, ia mempertanyakan dasar hukum yang digunakan TNI untuk melaporkannya. “Kenapa saya harus takut sama TNI? Memang saya ancaman ketahanan nasional? Emang saya pegang rudal?” ujar Ferry dalam video klarifikasinya.
Ia juga membantah tudingan bahwa dirinya sulit dihubungi, dan menyebut bahwa nomor kontaknya tersedia luas di kalangan media.
Pelaporan Ferry Irwandi Yang Kontroversial
Koalisi masyarakat sipil, termasuk ICJR dan Imparsial, menyayangkan langkah TNI yang dinilai melampaui kewenangan.
Mereka menilai bahwa pelibatan militer dalam pemantauan konten sipil berpotensi membuka ruang kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi.
Di sisi lain, TNI menyatakan bahwa langkah mereka masih dalam tahap konsultasi hukum, dan belum tentu berujung pada pelaporan resmi.
Namun, dinamika ini menunjukkan ketegangan antara institusi negara dan aktor sipil dalam ruang digital yang semakin kompleks.
Antara Etika Siber dan Batas Kewenangan
Kasus Ferry Irwandi membuka diskusi penting tentang etika siber, kebebasan berekspresi, dan batas intervensi institusi militer dalam ranah sipil.
Apakah kritik terhadap institusi negara bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik? Dan siapa yang berhak menegakkan batasnya?
Leave a comment