Pemuja.com – Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan negara-negara ASEAN semakin intens sejak diberlakukannya kebijakan tarif AS.
Berdasarkan data resmi dari The White House, terlihat perubahan tajam dalam kebijakan tarif AS terhadap sejumlah negara ASEAN antara 2 April dan 7 Juli 2025.
Beberapa negara mengalami penurunan tajam, sementara lainnya justru menghadapi lonjakan signifikan.
Kondisi ASEAN Saat Ini
Data menunjukkan bahwa Vietnam mengalami penurunan tarif paling drastis, dari 46% pada 2 April menjadi 20% pada 7 Juli.
Penurunan ini diyakini sebagai langkah AS dalam mendiversifikasi rantai pasoknya, menggeser sebagian besar manufaktur dari Tiongkok ke Vietnam.
Sementara itu, Sri Lanka juga mencatat penurunan dari 44% menjadi 30%, menandakan penguatan hubungan bilateral.
Sebaliknya, Singapura mengalami lonjakan tarif dari 10% menjadi 36%, peningkatan yang mengejutkan dan mengindikasikan adanya ketegangan diplomatik.
Thailand dan Indonesia tetap berada dalam posisi stagnan, dengan tarif masing-masing 36% dan 32%, menunjukkan bahwa hubungan dagang tetap stabil tetapi belum mendapat insentif pengurangan.
Malaysia dan Brunei mengalami kenaikan ringan dari 24% ke 25%, yang dapat dimaknai sebagai pengetatan tarif secara simbolik.
Penerapan Tarif AS Merugikan Negara-Negara?
Menurut Nikita Kuklin, akademisi dari Universitas MGIMO dan pakar ASEAN, perubahan tersebut merupakan bagian dari strategi AS untuk “menggoyahkan surplus perdagangan regional dan mendorong kesetaraan dagang”.
Ia menilai bahwa Indonesia dan negara ASEAN lainnya perlu memperkuat “solidaritas regional dan membangun front ekonomi kolektif” untuk melawan tekanan ini.
Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI, memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 0,5%, terutama karena sektor tekstil, perikanan, dan komoditas mentah menjadi sangat rentan terhadap tarif tinggi.
Pendapat senada disampaikan oleh Krisna Gupta dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), yang menekankan pentingnya pendekatan multilateral.
Menurutnya, “ketika negara-negara ASEAN menghadapi tekanan tarif secara terpisah, mereka rentan terhadap strategi pecah-belah (divide and rule). Namun jika bersatu, ASEAN memiliki daya tawar yang tak bisa diabaikan oleh Washington.”
Deborah Elms, Direktur Eksekutif Asian Trade Center, menyoroti peluang yang muncul di tengah krisis ini, seperti mengoptimalkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan CPTPP.
Menurutnya, “gangguan rantai pasok ini bisa diubah menjadi momentum bagi ASEAN untuk memperkuat pasar regionalnya dan mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat.”
Perubahan tarif AS terhadap negara ASEAN bukan hanya angka, melainkan strategi geopolitik yang mencerminkan dinamika kekuatan global.
Bagi ASEAN, perang tarif ini menjadi ujian atas kapasitas diplomatik dan kesatuan regional. Dengan Indonesia sebagai pemain kunci di kawasan, respons strategis melalui diplomasi ekonomi, negosiasi multilateral, dan penguatan pasar internal menjadi semakin penting untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan di tengah tekanan ekonomi global yang terus berkembang.
Leave a comment