Pemuja.com – Film animasi Merah Putih: One For All, yang digadang-gadang sebagai karya nasional untuk memperingati Hari Kemerdekaan ke-80 Indonesia, justru menuai kritik tajam dari publik. Selain kualitas visual yang dianggap kurang layak untuk layar lebar, film ini kini tersandung isu serius, dugaan penggunaan aset karakter 3D tanpa izin dari kreator aslinya.
Tuduhan dari Kreator Asing Tentang Aset 3D Film
Isu ini mencuat setelah Junaid Miran, seorang seniman 3D asal luar negeri, menyatakan bahwa karakter-karakter ciptaannya yang dijual di platform Reallusion telah digunakan dalam film tanpa seizin dirinya.
Dalam komentarnya di kanal YouTube, Junaid mengaku tidak pernah dihubungi oleh tim produksi, tidak menerima pembayaran, dan tidak diberikan kredit atas karyanya.
Pernyataan ini memicu gelombang dukungan dari warganet, yang mendorong Junaid untuk mengambil langkah hukum.
Banyak yang menyayangkan bahwa film yang membawa semangat nasionalisme justru diduga melanggar hak cipta internasional.

Respons dari Tim Produksi Masalah Aset 3D
Endiarto, selaku sutradara film, memberikan tanggapan dalam sebuah wawancara. Ia tidak secara tegas membantah tuduhan tersebut, namun menyebut bahwa kemiripan desain adalah hal yang wajar dalam dunia animasi.
Ia juga menekankan bahwa animator mereka telah berusaha semaksimal mungkin dalam waktu produksi yang sangat singkat.
Namun, pernyataan ini dinilai tidak cukup menjawab pertanyaan publik terkait transparansi dan etika produksi.
Produksi Kilat dan Dugaan Pembelian Aset
Film ini disebut-sebut diproduksi hanya dalam waktu kurang dari satu bulan, dengan anggaran sekitar Rp 6,7 miliar.
Warganet menduga bahwa sebagian besar aset visual, termasuk karakter dan latar, dibeli secara satuan dari platform seperti Daz3D dan Reallusion, dengan harga mulai dari Rp 700 ribu per aset.
Hal ini dianggap sebagai alasan di balik kecepatan produksi, namun juga menimbulkan pertanyaan tentang orisinalitas dan legalitas konten.
Ironi di Tengah Semangat Nasionalisme
Film Merah Putih: One For All awalnya dimaksudkan sebagai karya pemersatu bangsa, namun kini justru menjadi simbol ironi.
Di tengah dorongan pemerintah untuk menghargai karya kreatii, ini menjadi pengingat bahwa etika produksi harus berjalan seiring dengan semangat nasionalisme.
Leave a comment