Pemuja.com – Gelombang aksi unjuk rasa kembali mengguncang Jakarta. Hanya berselang tiga hari dari demo masyarakat pada 25 Agustus 2025 yang berakhir ricuh di depan Gedung DPR/MPR RI, kini giliran buruh yang turun ke jalan dalam aksi besar-besaran bertajuk HOSTUM (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah).

Demo 25 Agustus Berakhir Ricuh
Demo 25 Agustus lalu menjadi sorotan publik setelah ratusan warga memprotes isu kenaikan dan besarnya tunjangan anggota DPR. Massa menilai kebijakan itu tidak pantas di tengah situasi ekonomi sulit yang dialami rakyat.
Aksi yang awalnya damai berubah ricuh ketika sejumlah demonstran memaksa masuk ke area kompleks DPR, memicu bentrokan dengan aparat keamanan.
Polisi sempat menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa. Insiden ini meninggalkan kritik tajam terhadap kebijakan elite politik yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil, sehingga memicu gelombang ketidakpuasan di berbagai lapisan masyarakat.

351 Orang Diamankan Polisi
Kerusuhan berlangsung hingga malam hari. Pihak kepolisian mengamankan 351 orang yang diduga terlibat kerusuhan. Menariknya, dari jumlah itu, 196 orang adalah anak di bawah umur. Para pelajar ini disebut ikut aksi karena terprovokasi ajakan di media sosial. Sementara itu, 155 orang dewasa masih menjalani pemeriksaan mendalam terkait perannya dalam aksi tersebut.
DPR Dapat Kritik Tajam
Aksi yang awalnya damai ini berubah menjadi sorotan tajam kepada DPR. PDIP menyebut kejadian ini sebagai alarm keras bahwa kepercayaan rakyat terhadap DPR semakin menipis. Kritik datang karena dianggap DPR tidak peka dengan kondisi masyarakat.
Sementara itu, sejumlah anggota DPR mencoba memberi klarifikasi. Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR, mengatakan bahwa tunjangan bukanlah bentuk kemewahan dan akan kembali ke masyarakat. Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR lainnya, menegaskan tunjangan rumah hanya berlaku setahun dan digunakan untuk mengontrak rumah selama lima tahun.
Kondisi ini memperkuat semangat serikat buruh untuk menggelar aksi hari ini, dengan isu yang berbeda namun berakar pada ketidakadilan ekonomi. Jika demo 25 Agustus fokus pada anggaran DPR, maka aksi 28 Agustus menuntut keadilan ketenagakerjaan dan penghapusan praktik outsourcing yang dinilai memberatkan buruh.
Aksi Nasional 28 Agustus
Aksi 28 Agustus 2025 digelar serentak di 38 provinsi dan lebih dari 300 kabupaten/kota. Di Jakarta, titik utama berada di depan Gedung DPR/MPR RI dan Istana Negara. Massa direncanakan mulai bergerak sejak pukul 09.00 WIB, membawa spanduk bertuliskan tuntutan mereka.
Gelombang buruh datang dari kawasan industri Bekasi, Karawang, Bogor, Tangerang, Depok, Pulo Gadung, hingga Sunter. Diperkirakan 10.000 buruh mengepung Jakarta, sementara secara nasional jumlahnya bisa mencapai lebih dari satu juta peserta.

Apa Saja Tuntutan Buruh?
Buruh membawa enam tuntutan besar yang terangkum dalam gerakan HOSTUM:
- Hapus outsourcing dan tolak upah murah
- Stop PHK, bentuk Satgas PHK
- Kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8,5–10,5%
- Reformasi pajak:
- PTKP naik menjadi Rp7,5 juta
- Hapus pajak pesangon, THR, dan JHT
- Hapus diskriminasi pajak bagi pekerja perempuan menikah
- Sahkan RUU Ketenagakerjaan tanpa Omnibus Law
- Sahkan RUU Perampasan Aset untuk lawan korupsi
Isu ini bukan hanya soal gaji, tapi juga perlindungan hukum dan keadilan sosial.
Waspada Kemacetan
Polda Metro Jaya telah menyiapkan rekayasa lalu lintas situasional di sekitar kawasan DPR, Senayan, dan Istana. Sejumlah ruas utama seperti MH Thamrin, Sudirman, Medan Merdeka Barat, Gatot Subroto berpotensi dialihkan.
Transportasi umum juga terkena dampak. KAI Commuter mengantisipasi kemungkinan penutupan stasiun Palmerah, dengan alternatif Stasiun Kebayoran. Pengguna KRL diimbau memantau informasi real-time untuk menghindari kepadatan.
Lebih dari Sekadar Demo
Janji janji yang disampaikan Presiden Prabowo saat perayaan acara May Day ternyata belum terbukti. Aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan yang dinilai tidak pro-buruh. Karena jika suara buruh terus diabaikan, bukan tidak mungkin gelombang aksi akan semakin besar di masa mendatang.
Dan saatnya pemerintah dan DPR membuka mata dan hati. Suara rakyat tidak boleh lagi dianggap angin lalu. Kebijakan yang lahir seharusnya berpihak pada kesejahteraan bersama, bukan sekadar memperkaya diri sendiri.
Rakyat butuh pemimpin yang hadir untuk mereka, bukan yang sibuk menumpuk tunjangan dan fasilitas. Jika ini terus diabaikan, jurang ketidakpercayaan akan semakin dalam, dan bukan tidak mungkin gelombang perlawanan masarakyat akan semakin besar di masa mendatang.
Leave a comment