Pemuja.com – Dalam beberapa pekan terakhir, konsumen di berbagai kota besar Indonesia dibuat bingung oleh hilangnya beras kemasan dari rak swalayan.
Di Jakarta Selatan, misalnya, pantauan langsung menunjukkan hanya satu merek beras premium yang tersisa di Superindo Mayestik, sementara merek-merek lain termasuk SPHP milik Bulog menghilang tanpa penjelasan.
Di Alfamidi dan Alfamart sekitar kawasan tersebut, rak beras nyaris kosong, menyisakan satu-dua karung dengan harga yang melonjak tajam.
Imbas Kasus Beras Oplosan, Produsen Takut?
Menurut Satgas Pangan Polri, kelangkaan ini bukan karena penarikan paksa, melainkan karena produsen enggan mengisi ulang stok.
Ketakutan terhadap jerat hukum akibat kasus oplosan membuat banyak produsen memilih untuk “wait and see” daripada mengambil risiko.
Beberapa bahkan mengaku takut ditangkap jika beras yang mereka kemas tidak sesuai label komposisi.

Masalah Administrasi dan Distribusi Beras Bulog
Selain ketakutan hukum, ada hambatan administratif yang memperparah situasi. Beras SPHP dari Bulog belum masuk ke ritel karena belum ada kerja sama formal atau pre-order dari pihak swalayan.
Proses ini memakan waktu, dan sementara itu, rak-rak tetap kosong. Ironisnya, pemerintah mengklaim stok nasional aman hingga akhir tahun namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Harga Melambung, Konsumen Tercekik
Kekosongan ini berdampak langsung pada harga. Beras premium seperti Pandan Wangi kini dijual hingga Rp 22.000/kg, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Beras medium pun tak luput dari lonjakan, memaksa konsumen berpindah-pindah kios demi harga yang lebih bersahabat.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan yang lebih dalam: apakah kelangkaan ini murni akibat ketakutan hukum dan birokrasi, atau ada kekuatan lain yang bermain?
Beberapa pengamat mulai berspekulasi tentang kemungkinan adanya mafia yang mengatur pasokan dan harga dari balik layar.
Pola-pola seperti penahanan distribusi, penguasaan merek tertentu, dan lonjakan harga yang seragam di berbagai wilayah mengindikasikan adanya koordinasi yang tidak kasat mata.
Jika benar ada aktor-aktor besar yang mengendalikan pasokan demi keuntungan, maka kelangkaan ini bukan sekadar krisis logistik melainkan krisis kepercayaan terhadap sistem pangan nasional.
Leave a comment