Pemuja.com – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) tengah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.
Dibahas secara tertutup, revisi ini menuai kritik dari berbagai pihak, terutama karena adanya sejumlah poin kontroversial yang dianggap berpotensi mengembalikan militer ke peran ganda (Dwifungsi ABRI) seperti di masa Orde Baru.
Polemik ini memunculkan berbagai pandangan tentang arah profesionalisme TNI di era modern.
Poin Utama dan Kontroversi dalam RUU TNI
- Perluasan Jabatan Sipil untuk Prajurit Aktif
Salah satu poin yang paling menuai kritik adalah kebijakan yang memungkinkan lebih banyak prajurit aktif untuk mengisi jabatan sipil di lembaga non-militer, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, hingga Kejaksaan Agung.
Masyrakat khawatir hal ini mengancam reformasi sektor keamanan, yang selama ini menegaskan bahwa militer harus memfokuskan diri pada fungsi pertahanan.
Haris Azhar, Direktur Lokataru, mengatakan, “Kami melihat bahwa kebijakan ini berpotensi menggerus supremasi sipil dan membuka celah bagi campur tangan militer dalam ranah politik dan administrasi sipil.” - Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit
Poin lainnya adalah usulan untuk memperpanjang usia pensiun bagi bintara dan tamtama dari 53 menjadi 55 tahun, serta untuk perwira dari 58 menjadi 60 tahun.
Pendukung kebijakan ini menilai langkah ini akan meningkatkan pengalaman dan produktivitas prajurit senior.
Namun, kritikus berpendapat bahwa perpanjangan usia pensiun dapat memperlambat regenerasi, menghalangi promosi perwira muda, dan mengurangi dinamika organisasi. - Struktur dan Koordinasi TNI
Revisi ini juga mencakup usulan untuk menempatkan TNI sepenuhnya di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan, bukan langsung di bawah Presiden.
Perubahan ini menimbulkan perdebatan tentang independensi militer dalam pengambilan keputusan strategis, terutama saat terjadi keadaan darurat nasional.

Kritik terhadap Proses dan Transparansi
Proses pembahasan RUU TNI menjadi salah satu sorotan utama. Banyak pihak mengecam kurangnya keterbukaan, terutama karena pembahasan dilakukan secara tertutup di hotel mewah.
Aktivis HAM dan organisasi masyarakat sipil menilai bahwa kurangnya transparansi ini menghalangi partisipasi publik dalam isu yang berdampak besar pada demokrasi dan kehidupan bernegara.
Menurut Poengky Indarti dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), “Revisi ini sangat sensitif karena menyangkut keseimbangan hubungan sipil-militer. Pembahasan yang tidak transparan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.”
Risiko Kembalinya Dwifungsi ABRI
Poin terkait perluasan jabatan sipil untuk prajurit aktif dianggap sebagai ancaman terbesar terhadap reformasi sektor keamanan.
Jika tidak diatur dengan ketat, kebijakan ini dapat membuka kembali pintu bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil, mirip dengan konsep Dwifungsi ABRI yang berlaku di era Orde Baru.
Pada masa itu, militer tidak hanya bertugas dalam pertahanan, tetapi juga mengendalikan banyak aspek kehidupan politik, sosial, dan ekonomi.
Revisi RUU TNI menghadirkan dilema besar bagi Indonesia. Di satu sisi, perubahan ini dapat dianggap sebagai langkah modernisasi dan penguatan militer.
Di sisi lain, tanpa pengaturan yang ketat, revisi ini berisiko mengancam prinsip reformasi yang telah diperjuangkan sejak 1998.
Untuk memastikan bahwa TNI tetap profesional dan tidak melampaui batas kewenangannya, diperlukan transparansi dalam proses pembahasan dan keterlibatan aktif masyarakat sipil.
Leave a comment