Pemuja.com – Masyrakat mengkritik film Merah Putih: One For All, penuh dengan animasi kaku, naskah kering, dan dugaan penggunaan AI membuat film ini gagal menarik hati penonton
Di tengah semarak perayaan kemerdekaan Indonesia, harapan akan hadirnya karya animasi lokal yang membanggakan justru pupus lewat film Merah Putih: One For All.
Film Animasi Yang Tidak Niat ?
Film yang digadang-gadang membawa semangat nasionalisme ini malah memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan, mulai dari animator profesional hingga penonton awam.
Visual yang ditampilkan dalam trailer dan cuplikan film dinilai jauh dari standar industri. Gerakan karakter tampak kaku, tekstur visual terkesan mentah, dan beberapa adegan bahkan menyerupai hasil render awal yang belum selesai.
Netizen menyebutnya “seperti tugas akhir anak SMA” dan “film animasi tahun 1944” komentar yang mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap kualitas produksi.
Namun masalahnya tak berhenti di visual, naskah film ini juga menjadi sorotan tajam, dialog antar karakter terdengar datar, tidak alami, dan minim emosi.
Banyak yang menduga skripnya dibuat oleh kecerdasan buatan (AI), karena gaya tutur yang terlalu generik dan tidak mencerminkan dinamika manusia.
Jika benar, maka ini menjadi bukti bahwa teknologi tanpa sentuhan kreatif manusia justru bisa merusak esensi cerita.
Dana Yang Besar, Hasil Yang Minim
Yang membuat publik makin geram adalah kabar bahwa film ini menelan anggaran hingga Rp6,7 miliar. Meski belum ada konfirmasi resmi apakah dana tersebut berasal dari APBN atau sumber lain, transparansi penggunaan anggaran menjadi isu penting.
Sebab, jika dana sebesar itu digunakan untuk hasil yang dinilai tidak layak tayang, maka pertanggungjawaban publik adalah keniscayaan.
Sutradara Hanung Bramantyo bahkan menyebut bahwa anggaran sebesar itu hanya cukup untuk tahap previs, bukan untuk animasi final.
Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa proses produksi dilakukan terburu-buru, tanpa perencanaan matang dan tanpa melibatkan talenta terbaik di bidang animasi.
Dibanding Jumbo, Film Ini Terasa Kurang Niat
Sebagai pembanding, film Jumbo yang dirilis awal tahun ini justru menjadi titik balik animasi Indonesia. Tanpa perlu membedah teknis secara detail, Jumbo terasa lebih niat—baik dari segi cerita, visual, maupun emosi yang disampaikan.
Film ini digarap selama lima tahun oleh ratusan animator lokal, dan hasilnya bukan hanya memuaskan secara estetika, tapi juga menyentuh secara emosional.
Jumbo membuktikan bahwa karya anak bangsa bisa bersaing di panggung global jika digarap dengan ketulusan, waktu, dan dedikasi.
Sementara Merah Putih: One For All justru menjadi contoh bahwa semangat nasionalisme tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kualitas.
Nasionalisme Bukan Sekadar Tema
Merah Putih : One For All akan Tayang di bioskop mulai dari 14 Agustus 2025 menjelang penyambutan HUT RI yang ke-80
Film bertema kemerdekaan seharusnya menjadi ruang refleksi dan inspirasi. Namun ketika eksekusi teknis dan naratifnya lemah, pesan yang ingin disampaikan justru tenggelam.
Merah Putih: One For All adalah pengingat bahwa nasionalisme bukan sekadar tema yang bisa dijual, melainkan nilai yang harus dihayati dan diwujudkan dengan sungguh-sungguh termasuk dalam karya seni.
Jika benar dana negara ikut terlibat, maka publik berhak bertanya: apakah ini bentuk dukungan terhadap industri kreatif, atau sekadar formalitas yang kehilangan arah?
Leave a comment