Pemuja.com – Gelombang aksi massa kembali mengguncang dunia. Setelah demonstrasi besar di Indonesia dan Nepal yang berujung pada kerusuhan, kini sejumlah negara lain juga menghadapi gejolak serupa.
Rakyat turun ke jalan untuk menyuarakan tuntutan, mulai dari masalah ekonomi, kebijakan publik, hingga solidaritas internasional.

Demonstrasi di Indonesia dan Nepal
Indonesia dan Nepal menjadi titik awal gelombang protes yang mencuri perhatian dunia. Di Indonesia, massa turun ke jalan menolak kebijakan pemerintah terkait ekonomi dan perpajakan. Aksi ini sempat memanas hingga berujung bentrokan dengan aparat keamanan.
Puncaknya, Rakyat didengar : tuntutan 17+8 muncul dan sebagian sudah diwujudkan, pemerintah tidak sewenang wenang lagi membuat kebijakan, terutama mengenai pajak yang mencekik rakyat kecil.
Sementara itu, di Nepal, kerusuhan pecah akibat Krisis politik dan ekonomi semakin membara, saat demonstrasi besar yang dipimpin generasi muda (Gen Z) terjadi setelah pemerintah memberlakukan larangan mendadak terhadap 26 platform media sosial populer.
Langkah ini memicu kemarahan luas, tidak hanya atas pembatasan kebebasan berekspresi, tetapi juga sebagai puncak dari frustrasi terhadap korupsi yang merajalela, nepotisme, dan penggunaan anggaran yang tidak transparan—isu yang sudah lama menggerogoti kepercayaan publik.
Puncaknya, Rakyat didengar : pemerintahan resmi berhasil digulingkan. Pemerintahan transisi dibentuk dan diberi mandat memulihkan stabilitas nasional, menjanjikan kompensasi bagi keluarga korban, serta menyiapkan pemilu baru yang dijadwalkan pada Maret 2026

Kerusuhan yang terjadi memperlihatkan betapa dalamnya ketidakpuasan publik terhadap pemerintahannya masing-masing.
Prancis: Gerakan “Block Everything” Lawan Pemangkasan Anggaran
Setelah Nepal, gelombang protes kini menyapu Eropa. Di Prancis, ribuan orang bergabung dalam gerakan “Bloquons tout” atau Block Everything.

Aksi ini meledak setelah pemerintah mengusulkan anggaran nasional 2026 yang berisi pemangkasan belanja publik hingga €44 miliar serta penghapusan dua hari libur nasional.
Para demonstran menilai kebijakan itu hanya memperburuk ketimpangan ekonomi. Mereka mendirikan barikade, membakar kendaraan, hingga mengganggu transportasi di kota-kota besar seperti Paris, Marseille, dan Rennes.
Pemerintah merespons dengan mengerahkan 80.000 aparat keamanan, termasuk penggunaan helikopter dan drone.
Hingga kini, lebih dari 400 orang telah ditangkap dalam aksi yang disebut-sebut sebagai salah satu gelombang protes terbesar di masa pemerintahan Emmanuel Macron.
Australia: Protes Multisuara dari Korupsi hingga Anti-Imigrasi
Selanjutanya Australia yang kini menjadi sorotan dunia, setelah gelombang protes besar meletus merata mulai dari pusat kota hingga depan kompleks parlemen.

Aksi ini bukan hanya menyuarakan solidaritas—seperti dukungan terhadap rakyat Palestina atau perlawanan terhadap neo-Nazi—melainkan juga menyoroti isu dalam negeri yang tajam: korupsi sistemik dan kebijakan energi kontroversial.
Pada hari yang sama, ribuan warga berkumpul di depan Gedung Parlemen Canberra, menuntut transparansi dan memperingatkan bahwa kepercayaan publik terhadap pejabat tinggi negara tengah terkikis.
Aksi ini juga menyertakan suara penolakan terhadap percepatan pembangunan energi terbarukan, yang dinilai merugikan petani lokal dan menaikkan biaya hidup.
Tak kalah menarik, Sydney menjadi panggung unjuk rasa dengan tuntutan beragam: sebagian menyorong isu anti-vaksinasi, anti-imigrasi, dan penolakan sistem cashless; sementara kelompok lain justru bangkit menentang rasisme dan neo-Nazi, menciptakan lanskap demo yang bertabrakan nilai.
Brisbane, Adelaide, Hobart, Perth, Canberra, dan Darwin juga menyaksikan ribuan massa turut ambil bagian—baik dalam protes pro-lingkungan, perlindungan masyarakat adat, maupun seruan anti-korupsi.
Gelombang Ketidakpuasan Global
Dari Indonesia hingga Australia, rangkaian demonstrasi ini memperlihatkan benang merah yang sama: Rakyat ingin didengar!.
Baik terkait krisis ekonomi, kebijakan publik, maupun isu kemanusiaan global, masyarakat memilih jalan turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi mereka.
Sementara pemerintah di masing-masing negara berusaha menjaga stabilitas dengan pengerahan aparat, suara protes yang terus bergema menjadi pengingat bahwa kebijakan tanpa komunikasi dan keberpihakan pada rakyat rentan memicu gelombang ketidakpuasan.
Mereka tidak datang untuk menyambut, melainkan untuk menyuarakan. Tidak menunggu momentum, mereka memilih bergerak.
Baca Artikel Lainnya
- Asa Pupus : Timnas Indonesia Gugur dari Kualifikasi Piala Dunia
- Gempa Dahsyat Guncang Filipina Selatan, Tsunami Terdeteksi
- Israel–Palestina: Gencatan Senjata Dimulai, Namun Serangan Masih Terjadi
- Tolak Atlet Senam Israel di Kejuaraan Dunia 2025
- Sekolah Garuda: Langkah Strategis Menuju Indonesia Emas 2045
Leave a comment