Pemuja.com – Pergantian Menteri Keuangan Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Tak bisa dipungkiri, setiap perubahan di kursi strategis ini selalu memunculkan pro dan kontra di kalangan netizen.
Ragam opini publik pun bermunculan, termasuk dari Andreas Ambesa, seorang pengamat yang menilai langkah awal sang menteri baru patut dicermati.
Meski begitu, satu hal yang pasti, Purbaya Yudhi Sadewa tidak menunggu lama untuk menunjukkan gebrakan besar dalam upayanya menggerakkan roda perekonomian Indonesia.
Bagaimana pandangan lengkapnya? Simak ulasan dalam Opini Cerdas Pedas berikut ini.

Janji Manis Pejabat Yang Gampang Memikat
Orang Indonesia cenderung cepat percaya pada ๐ด๐ต๐ข๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ต pejabat baru seperti Purbaya Yudhi Sadewa (Menkeu baru di era Prabowo) atau Jokowi dulu karena beberapa faktor budaya, sejarah, dan dinamika sosial-politik yang saling terkait.
Ini bukan fenomena unik, tapi cukup khas di Indonesia yang masih dipengaruhi warisan otoritarianisme dan harapan tinggi terhadap pemimpin “pembaru”. Ada beberapa catatan yang bisa dijelaskan secara bertahap berdasarkan pola yang sering muncul.
๐ญ. ๐๐ถ๐๐ฟ๐ฎ ๐ฃ๐ฒ๐บ๐ถ๐บ๐ฝ๐ถ๐ป ๐๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ด๐ฎ๐ถ “๐ฃ๐ฒ๐บ๐ฏ๐ฎ๐ฟ๐” ๐ฎ๐๐ฎ๐ “๐ ๐ฒ๐ฟ๐ฎ๐ธ๐๐ฎ๐” ๐๐ฎ๐ป๐ด ๐ ๐ฒ๐ป๐ฎ๐ฟ๐ถ๐ธ ๐๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ฝ๐ฎ๐ป
Pejabat baru sering muncul dengan narasi sederhana, blak-blakan, atau janji pertumbuhan cepat, yang langsung menyentuh emosi rakyat yang lelah dengan status quo.
Jokowi dulu (sekitar 2012-2014) naik sebagai wali kota Solo dan gubernur Jakarta yang “dekat rakyat”: gaya blusukan, bicara pelan tapi meyakinkan, dan janji infrastruktur yang terasa nyata. Ini membuatnya terlihat autentik, bukan elite jauh.

Hasilnya, survei approval rate-nya tinggi karena rakyat melihatnya sebagai anti-korupsi dan pro-rakyat, meski kemudian banyak janji yang dianggap ingkar (seperti soal dinasti politik anaknya).
Begitu juga Purbaya, yang baru dilantik September 2025 menggantikan Sri Mulyani Indrawati. Dia langsung sesumbar soal ekonomi tumbuh 6-7% dalam beberapa tahun ke depan, bicara ceplas-ceplos seperti “jurunya mabuk” atau motivator pasar.
Meski dikritik sombong dan kurang empati (misalnya meremehkan demo 17+8 sebagai “suara minoritas”), banyak yang percaya karena dia terlihat berani dan ๐ฐ๐ท๐ฆ๐ณ๐ค๐ฐ๐ฏ๐ง๐ช๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐ต, kontras dengan gaya teknokrat Sri Mulyani yang lebih hati-hati.
Ini menciptakan ๐ฆ๐ถ๐ง๐ฐ๐ณ๐ช๐ข sementara, apalagi di tengah krisis ekonomi pasca-pandemi dan ๐ณ๐ฆ๐ด๐ฉ๐ถ๐ง๐ง๐ญ๐ฆ kabinet.
๐ฎ. ๐๐๐ฑ๐ฎ๐๐ฎ ๐๐ถ๐ฒ๐ฟ๐ฎ๐ฟ๐ธ๐ถ ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ฝ๐ฒ๐ฟ๐ฐ๐ฎ๐๐ฎ๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ฟ๐น๐ฒ๐ฏ๐ถ๐ต ๐ฝ๐ฎ๐ฑ๐ฎ ๐ข๐๐ผ๐ฟ๐ถ๐๐ฎ๐ (๐๐ฒ๐ผ๐ฑ๐ฎ๐น๐ถ๐๐บ๐ฒ ๐ฅ๐ถ๐ป๐ด๐ฎ๐ป)
Secara budaya, Indonesia punya sisa-sisa sikap feodal di mana pejabat dianggap “punya wewenang Ilahi” atau setidaknya lebih tahu.
Mochtar Lubis dalam pidatonya tahun 1970-an menyebut orang Indonesia cenderung “bersikap feodal” dan “percaya takhayul”, termasuk mudah percaya pada figur berkuasa tanpa verifikasi mendalam.
Jokowi sendiri pernah bilang dia “agak percaya” poin itu, karena banyak pejabat yang suka takhayulโtapi ini juga berlaku pada rakyat yang melihat pejabat sebagai “pemimpin alami”.
Ini diperkuat sejarah Orde Baru (era Soeharto) di mana media dikontrol, kritik dibungkam, dan rakyat dibiasakan patuh. Hasilnya, sekarang meski ada kebebasan berpendapat, banyak yang masih refleks percaya ๐ด๐ต๐ข๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ต resmi dulu, baru nanti kritis kalau terbukti salah.
Contoh: Jokowi awalnya dipuji sebagai “presiden dari akar rumput”, tapi kemudian dituduh bangun dinasti via putranya Gibran Rakabuming Rakaโtapi awalnya, harapan itu bikin orang cepat yakin.
๐ฏ. ๐ ๐ฒ๐ฑ๐ถ๐ฎ ๐ฆ๐ผ๐๐ถ๐ฎ๐น, ๐๐๐๐๐ฒ๐ฟ, ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐๐ฟ๐ฎ๐บ๐ถ๐ป๐ด ๐๐ฎ๐ป๐ด ๐๐ฒ๐ฝ๐ฎ๐ ๐ ๐ฒ๐ป๐๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ฟ
Di era digital, ๐ด๐ต๐ข๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ต pejabat baru langsung viral via X (Twitter), TikTok, atau berita online, sering diframing positif oleh ๐ฃ๐ถ๐ป๐ป๐ฆ๐ณ atau pendukung.
Jokowi dulu dibantu narasi “Jokowi hebat” yang dibangun lewat survei dan media, membuat kebohongan kecil (seperti janji tak cawe-cawe pilpres 2024) terlihat minor.
Purbaya juga: meski blunder soal demo, ada opini yang bilang “lebih baik sesumbar daripada diam seperti menteri lain”, karena bikin gampang ditagih hasilnya.

Rakyat cenderung percaya berita baik dulu (seperti janji pertumbuhan), tapi cepat kecewa kalau burukโtapi fase “percaya cepat” itu dimanfaatkan untuk legitimasi awal.
Sejarah korupsi pejabat lama bikin orang haus figur baru, tapi ini juga bikin rentan ๐ง๐ณ๐ข๐ฎ๐ช๐ฏ๐จ: “Ini yang kita butuh, yang lama gagal.”
๐ฐ. ๐๐ผ๐ป๐ฑ๐ถ๐๐ถ ๐ฆ๐ผ๐๐ถ๐ฎ๐น-๐๐ธ๐ผ๐ป๐ผ๐บ๐ถ: ๐๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ฝ๐ฎ๐ป ๐ฑ๐ถ ๐ง๐ฒ๐ป๐ด๐ฎ๐ต ๐๐ฒ๐๐ถ๐ฑ๐ฎ๐ธ๐ฝ๐ฎ๐๐๐ถ๐ฎ๐ป
Indonesia punya populasi muda yang ingin perubahan cepat, tapi ekonomi sering lesu (inflasi, pengangguran). Pejabat baru seperti Jokowi (fokus infrastruktur) atau Purbaya (janji likuiditas Rp200T ke pasar) terlihat sebagai “penyelamat”.
Rakyat bawah, yang mayoritas, lebih percaya janji “kerja dan makan enak” daripada analisis rumit. Ini mirip populisme: Jokowi menang 2014 karena harapan, bukan rekam jejak panjang.
Tapi ada sisi negatif: cepat percaya bikin lambat kritis. Seperti Basuki Tjahaja Purnama dulu (Gubernur DKI Jakarta 2014-2017), yang arogan tapi diberi kesempatan karena “๐ข๐ค๐ต๐ช๐ฐ๐ฏ ๐ด๐ฑ๐ฆ๐ข๐ฌ๐ด ๐ญ๐ฐ๐ถ๐ฅ๐ฆ๐ณ”โmirip Purbaya sekarang. Kalau kebijakan gagal, baru ramai kritik, tapi awalnya sudah terlanjur dukung.
Intinya, ini campuran antara budaya patuh, harapan emosional, dan strategi politik yang pintar. Bukan berarti semua orang begituโada juga yang skeptis dari awalโtapi mayoritas terpengaruh karena butuh “cerita sukses” di tengah masalah nyata.
Kalau mau hindari, biasakan verifikasi fakta dan lihat track record, bukan cuma kata-kata manis. Semoga Purbaya atau siapa pun bisa buktiin janjinya, biar kepercayaan itu nggak sia-sia.
Baca Artikel Lainnya
- Asa Pupus : Timnas Indonesia Gugur dari Kualifikasi Piala Dunia
- Gempa Dahsyat Guncang Filipina Selatan, Tsunami Terdeteksi
- IsraelโPalestina: Gencatan Senjata Dimulai, Namun Serangan Masih Terjadi
- Tolak Atlet Senam Israel di Kejuaraan Dunia 2025
- Sekolah Garuda: Langkah Strategis Menuju Indonesia Emas 2045
Leave a comment