Pemuja.com – publik dikejutkan oleh keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis 3 tahun 6 bulan penjara kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Putusan ini menjadi babak baru dalam saga panjang kasus pergantian antarwaktu (PAW) yang melibatkan nama Harun Masiku, sosok yang hingga kini masih berstatus buronan.
Dana untuk PAW dan Bayang-bayang Harun Masiku
Kasus ini bermula dari upaya meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui jalur PAW. Dalam prosesnya, Hasto disebut menyediakan dana sebesar Rp 400 juta kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, yang telah dijatuhi hukuman.
Dana itu ditengarai sebagai imbalan agar Wahyu menyetujui PAW Harun, melewati mekanisme yang seharusnya dijalankan oleh partai dan lembaga pemilu.
Meski Hasto berkali-kali membantah keterlibatan langsung, rekaman komunikasi dan aliran dana menjadi bahan utama jaksa penuntut dalam membangun konstruksi perkara.
Namun satu dakwaan lain, yakni perintangan penyidikan, justru gugur karena majelis hakim menilai tidak cukup bukti yang menunjukkan Hasto memerintahkan penghilangan barang bukti seperti ponsel miliknya.
Vonis yang Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa
Putusan ini tergolong lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa sebelumnya yang meminta 7 tahun penjara dan denda Rp 600 juta.
Majelis hakim akhirnya menjatuhkan hukuman 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta, dengan alasan bahwa Hasto dianggap bukan pelaku utama, serta dinilai kooperatif selama proses persidangan.
Keputusan ini menuai respons beragam, dari kader partai hingga kritik masyarakat sipil yang menyoroti lemahnya efek jera terhadap elite politik.

Hasto Kristiyanto Ditargetkan Dari Awal?
Dalam pernyataan resminya pasca-putusan, Hasto menyebut menerima vonis tersebut dengan kepala tegak, namun menyiratkan bahwa proses hukum yang ia jalani tidak sepenuhnya bebas dari intervensi politik.
Ia menegaskan bahwa dirinya adalah “target sejak awal”, pernyataan ini membuka ruang untuk spekulasi bahwa hukuman tersebut bukan semata hasil proses hukum.
Hukuman tersebut diduga bagian dari manuver politik menjelang tahun-tahun krusial dalam dinamika kepartaian dan kontestasi nasional.
Dengan posisi strategis Hasto di tubuh PDIP, vonis ini tak pelak memunculkan pertanyaan tentang dampaknya terhadap soliditas internal partai.
Polemik di Ruang Akademik dan Opini Publik
Tak hanya menjadi isu hukum dan politik, kasus ini juga mengundang perhatian kalangan akademisi. Sebanyak 23 pakar hukum dan sosial menyampaikan pandangan akademik yang mempertanyakan keabsahan proses penyidikan dan potensi kriminalisasi terhadap aktor politik.
Sementara itu, publik terbelah antara mereka yang menuntut ketegasan terhadap korupsi elite, dan mereka yang melihat kasus ini sebagai rekayasa untuk melemahkan posisi PDIP menjelang pemilu.
Dalam jagat media sosial, nama Hasto kembali menjadi perbincangan. Tagar #VonisHasto dan #HarunMasiku trending selama beberapa hari, menunjukkan bahwa publik masih haus akan kejelasan dan keadilan yang konsisten.
Antara Keadilan dan Narasi Politik Dibalik Vonis Hasto
Vonis terhadap Hasto Kristiyanto bukan sekadar penegakan hukum atas satu individu. Ia menjadi simbol dari tarik menarik antara hukum dan politik, antara keadilan prosedural dan keadilan substantif.
Dalam iklim demokrasi, kasus ini menegaskan bahwa transparansi dan independensi lembaga penegak hukum tetap menjadi pekerjaan rumah besar.
Leave a comment