Pemuja.com – Pernyataan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung pada awal September 2025 sempat menenangkan publik.
Ia menyebut bahwa total kerugian akibat kerusakan fasilitas umum pasca demonstrasi besar-besaran hanya berkisar Rp80 miliar.
Angka itu terdengar masuk akal, mengingat kerusakan yang terlihat paling mencolok adalah pada halte TransJakarta, beberapa jembatan penyeberangan orang (JPO), serta sistem transportasi dan pengawasan kota.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Hanya beberapa hari berselang, Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo menyampaikan estimasi yang jauh lebih besar: Rp900 miliar.
Pernyataan ini sontak memicu kebingungan dan spekulasi. Bagaimana mungkin selisihnya begitu besar? Apakah ada data yang belum diungkap, atau justru terjadi miskomunikasi antar lembaga?
Estimasi Pramono: Fokus Wilayah, Efisiensi Anggaran
Dalam konferensi persnya, Pramono merinci bahwa kerusakan terbesar terjadi pada 22 halte TransJakarta, dengan enam di antaranya mengalami pembakaran dan penjarahan.
Ia juga menyebut kerusakan pada sistem MRT senilai Rp3,3 miliar, serta gangguan pada traffic light dan CCTV yang ditaksir sekitar Rp5,5 miliar. Tambahan subsidi transportasi selama masa perbaikan diperkirakan mencapai Rp18 miliar.
Totalnya: Rp80 miliar. Angka ini, menurut Pramono, sudah mencakup seluruh kebutuhan perbaikan di wilayah DKI Jakarta dan akan ditangani dengan cepat agar layanan publik kembali normal.
Pernyataan Dody: Skala Nasional, Anggaran Terpusat
Berbeda dengan Pramono, Menteri PU Dody Hanggodo menyampaikan bahwa total anggaran yang disiapkan pemerintah pusat untuk perbaikan infrastruktur pasca demo mencapai Rp900 miliar.
Ia menekankan bahwa angka ini mencakup kerusakan di 19 provinsi, termasuk Jakarta. Gedung DPRD Makassar, Gedung Grahadi Surabaya, serta fasilitas umum di Bandung dan Medan masuk dalam daftar prioritas.
Jakarta tetap menjadi bagian dari anggaran tersebut, namun bukan satu-satunya fokus. Dody juga menyebut bahwa beberapa proyek perbaikan akan menggunakan dana cadangan nasional, bukan hanya APBD DKI.
Munculnya Dua Angka, Dua Perspektif
Perbedaan estimasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah publik sedang disuguhi dua versi kebenaran, ataukah memang ada perbedaan skala yang belum dijelaskan secara gamblang?
Pramono berbicara dalam konteks lokal, dengan fokus pada efisiensi dan percepatan pemulihan. Dody berbicara dalam konteks nasional, dengan pendekatan terpusat dan antisipasi jangka panjang.
Namun karena keduanya menyampaikan pernyataan dalam waktu berdekatan dan dalam konteks yang sama yaitu kerusakan fasum pasca demo publik wajar mempertanyakan transparansi dan koordinasi antar lembaga.
Transparansi yang Dituntut Publik
Di tengah ketidakpastian ini, satu hal menjadi jelas: masyarakat membutuhkan kejelasan. Apa saja komponen biaya yang dihitung? Mana yang ditanggung oleh Pemprov, dan mana yang dibantu oleh pemerintah pusat? Apakah ada audit terbuka atau laporan rinci yang bisa diakses publik?
Tanpa penjelasan yang komprehensif, perbedaan angka ini berisiko menimbulkan ketidakpercayaan. Apalagi di tengah situasi politik yang sensitif, di mana setiap angka bisa dimaknai sebagai simbol kepentingan.
Di Balik Angka, Ada Warga yang Menunggu
Rp80 miliar mungkin terdengar besar, tapi Rp900 miliar jauh lebih mengejutkan. Di balik perbedaan estimasi ini, ada halte yang terbakar, JPO yang rusak, dan warga yang menunggu transportasi kembali berfungsi
.Angka hanyalah permukaan yang lebih penting adalah komitmen untuk memulihkan layanan publik dengan cepat, transparan, dan akuntabel
Leave a comment