Pemuja.com – Temuan Kementerian Pertanian terkait praktik pengoplosan beras di berbagai wilayah Indonesia kemarin membuat masyarakat kecewa.
Dari 268 sampel yang diuji, 212 merek dinyatakan tidak sesuai standar mutu, volume, dan harga. Praktik ini melibatkan pengemasan ulang beras curah berkualitas rendah menjadi beras premium, yang dijual dengan harga lebih tinggi. Kerugian masyarakat ditaksir mencapai Rp99 triliun per tahun, menunjukkan skala penyimpangan yang sistemik.
Dampak terhadap Masyarakat Indonesia
Skandal ini memberikan pukulan langsung kepada konsumen. Mereka membeli beras “premium” dengan harga Rp15.000 per kilogram, padahal kualitasnya tidak lebih baik dari beras biasa seharga Rp12.000–Rp13.000.
Ketika ekspektasi terhadap kualitas beras tidak terpenuhi, muncul ketidakpercayaan terhadap merek dagang dan pasar secara umum.
Selain itu, kualitas beras oplosan yang rendah berpotensi membahayakan kesehatan rumah tangga, terutama bagi keluarga dengan anak kecil atau lansia yang rentan terhadap kandungan beras yang tidak layak konsumsi.
Negara Ikut Rugi Akibat Pengoplosan Beras
Negara pun ikut menanggung dampak besar. Subsidi dari Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang seharusnya membantu masyarakat justru dimanfaatkan oleh oknum pengusaha untuk keuntungan pribadi.
Dalam lima tahun, kerugian negara ditaksir mencapai Rp10 triliun. Ketimpangan antara harga gabah di tingkat petani dan harga beras di pasar menunjukkan distorsi pasar yang merugikan.
Pemerintah juga menghadapi tantangan besar dalam penegakan hukum, karena skandal ini melibatkan ratusan merek dan pelaku usaha.
Tak hanya itu, reputasi Indonesia sebagai negara agraris turut tercoreng, yang dapat memengaruhi kepercayaan investor terhadap sektor pangan nasional.
Hancurnya Kepercayaan Masyarakat
Skandal ini bukan sekadar persoalan mutu beras, melainkan bentuk penipuan sistemik yang merusak kepercayaan publik dan menggerogoti fondasi ketahanan pangan negara.
Untuk mencegah kasus serupa terulang, diperlukan pembenahan menyeluruh dalam sistem pengawasan pangan, penegakan hukum yang tegas, serta edukasi konsumen agar lebih kritis dalam memilih produk.
Transparansi dan integritas pelaku industri pangan harus menjadi prioritas dalam agenda reformasi sektor pertanian dan perdagangan ke depan.
Baca Artikel Lainnya :
- Tak Terima Uang, Tapi Tetap Bersalah. Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun Penjara
- Pesta Rakyat Garut Berlangsung Ricuh : Tiga Meninggal Dunia
- Upacara 17 Agustus 2025: Di Jakarta Bukan Di IKN, Kenapa?
- Jaksa Selidiki Keuntungan Nadiem Makarim Kasus Chromebook
- Timnas Indonesia di Round 4: Tantang 2 Raksasa Asia
Leave a comment